Posts

Pilihan

“Kayaknya kesempatan kedua nggak ada dikamus hidup kamu, ya?” “Untuk apa jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya? Bukankah rasa sakitnya sama saja?” “Anak kecil yang jatuh menangis beribu kali untuk menyeimbangkan sepedanya saja masih punya semangat untuk bangkit lagi. Kenapa kamu nggak?” “Karena itu sudah pilihan saya sejak awal.” “Nggak memilih bukan berarti nggak akan mengalaminya, kan? Garis di tanganmu sudah tergambar jauh sebelum kamu ada. Sejauh apapun kamu menghindar, kalau memang itu takdirmu ya nggak bisa diubah. Sejauh apapun kamu berlari, kalau yang dikerjar semakin menjauh ya mustahil untuk nggak lelah. Harusnya kamu sadar, dia kembali bukan untuk kamu.” “Sekarang bukan waktu yang tepat.” “Nggak akan ada waktu yang tepat selama kamu terpaku dengan prinsip itu.” “Semua orang mengejar apa yang mereka inginkan bukan apa yang orang lain inginkan. Berani mencintai, berani juga merelakan.  Mereka bukan anak kecil yang terobsesi untuk lancar menyeimbangkan sepedanya. Me...

Turn Around

If the right way is straight, why would you have to turn? You're just curious about discovering new things, as a result, you turn and get lost in a dead-end. It seems like when you're faced with choices. If you already knew which one is right, why choose the wrong one then? God is good enough to give you the choices that you know how it ends. It's just that some of His people are tempted by the wrong choice, self-justification behind the “Just let it flow. No one knows what the future holds, right?” sentence. If your life is well scheduled to plan what your lunch would be, it's obvious you know the ending of your choices. It's also possible if you've thought of the worst part. Unfortunately, you're not. You choose to turn. Whether you want it or not, you have to turn around because that's the only way back. As we all know, humans are the same, it makes no difference even in God's eyes. You can't choose who this heart would fall to. You also can...

Maaf

“Nggak ada pilihan lain?” “Nggak.” “Ayolah....”  Ia menghembuskan napas kasar. “Tetap atau tinggal?” tanyanya sekali lagi dengan muka bosan. “Nggak, saya nggak bisa. Ini bukan pertanyaan pilihan ganda yang bisa dijawab dengan menghitung kancing baju.” “Sesulit itu memilih setelah dengan mudahnya dia menghancurkanmu?” 1 detik... 2 detik... 1 menit... tidak ada jawaban. Saya terdiam, mengiyakan yang baru saja ia katakan. Layaknya burung merpati yang mencoba pergi sejauh mungkin, berharap kembali bersama merpati lain dengan kisah yang baru dan berbeda. Tetapi semesta sudah jauh lebih tahu bahwa ini semua salah. Untuk kali pertamanya, semesta tidak berpihak pada saya. Tanpa aba-aba, dia mengirimku kesini. Merpati lain yang kamu maksud berada di rumah, masih menunggumu jauh sebelum kamu pergi lalu kembali pulang ,  kira-kira itu yang semesta bisikkan. Saya memeluknya erat. Yang selalu saya suka adalah membenamkan kepala ditubuhnya seperti terlindung dari badai dan petir di luar san...

Awan

Wajar bukan? Mengagumi siapapun dan senang memperhatikan setiap gerak-geriknya yang bahkan belum dikenal. Bukan yang terpintar, terpopuler, apalagi kesayangan semua guru. Namun berhasil mencuri perhatian  saya. Meskipun bukan namanya, saya memanggilnya Awan. Jangan tanya kenapa karena setelah ini saya pasti ditertawakan karena alasan konyol saya adalah mereka seperti kakak beradik yang mempunyai banyak kesamaan dan sering bertengkar. Nggak banyak yang tahu kalau saya jatuh padanya, pun dengan sahabat  saya. Jadi, saya mohon kalian harap rahasiakan ini, ya. Hari yang berawan, bertemu dengan Awan. Tuhan menakdirkan kami untuk bertemu pertama kali di lorong sekolah. Entah saya yang aneh atau bagaimana, yang jelas saya bisa merasakan perut saya banyak kupu-kupu. “Tunggu, barangmu tertinggal!” Jangankan menoleh, mendengar apa yang saya ucap barusan saja sepertinya tidak. Ya, kami dipertemukan karena Awan yang berlari tanpa melihat arah seperti mal...

Berbeda

“Beristirahatlah, saya nggak mau sesuatu terjadi padamu.” “Bukankah momen ini yang selalu kita tunggu-tunggu? Sebentar lagi, ya.” pinta saya padanya. “Tetap jadi dirimu yang saya kenal, yang seperti ini, dan akan selalu begini.” saya mengangguk mengerti.   “Nggak lama, ya, hari sudah semakin gelap.”   Terkadang, sesuatu yang indah hanya datang sebentar saja. Tanpa ucap permisi dan salam perpisahan. Tanpa minta untuk jadi teman atau musuh. Seperti momen yang sedang kami nikmati saat ini, momen dimana matahari sedang mengantuk dan segera tidur untuk mengumpulkan semangatnya menerangi dunia esok; senja.   Tidakkah ada momen yang lebih indah dari ini?   Jika saya boleh minta sesuatu dan minta untuk dikabulkan, tolong hapus senja. Tolong hapus dimana saya sedang tertawa lepas berlarian di tanah lapang dengannya dan merebahkan tubuh di atas rumput hijau, menikmati senja sambil menutup mata lalu mengizinkan angin untuk bermain di depan kami.   Dengan begitu indahn...