Awan

Wajar bukan?

Mengagumi siapapun dan senang memperhatikan setiap gerak-geriknya yang bahkan belum dikenal. Bukan yang terpintar, terpopuler, apalagi kesayangan semua guru. Namun berhasil mencuri perhatian saya.

Meskipun bukan namanya, saya memanggilnya Awan. Jangan tanya kenapa karena setelah ini saya pasti ditertawakan karena alasan konyol saya adalah mereka seperti kakak beradik yang mempunyai banyak kesamaan dan sering bertengkar.

Nggak banyak yang tahu kalau saya jatuh padanya, pun dengan sahabat saya. Jadi, saya mohon kalian harap rahasiakan ini, ya.

Hari yang berawan, bertemu dengan Awan. Tuhan menakdirkan kami untuk bertemu pertama kali di lorong sekolah. Entah saya yang aneh atau bagaimana, yang jelas saya bisa merasakan perut saya banyak kupu-kupu.

“Tunggu, barangmu tertinggal!”

Jangankan menoleh, mendengar apa yang saya ucap barusan saja sepertinya tidak. Ya, kami dipertemukan karena Awan yang berlari tanpa melihat arah seperti maling lalu menabrak saya hingga jatuh bersamaan. Ralat, hanya saya yang terjatuh.

Barang yang saya asumsikan miliknya yang tadi terjatuh adalah sebuah buku. Dari ukurannya, bisa saya tebak ini buku diary. Tunggu, sejak kapan laki-laki suka menulis diary?

“Sejauh apapun cinta mengejar, nggak akan ada kata berhenti untuk menghindar darinya. Kalaupun lelah bukan berarti mengalah karenanya, hanya sedang mencari jati diri yang sebenarnya. Menguji tepatnya. Merasakan hidup diantara orang-orang yang melengkapi hidupnya dengan cinta, nggak salah, kan? Ini yang saya rasain sekarang. Karena sejarahnya, dalam kamus hidup saya, nggak ada kata pengecut. Siap nggak siap, mau nggak mau, setuju nggak setuju, saya harus terima dan hadapi kenyataan yang ada. Iya, kenyataan bahwa cinta nggak pernah ada dalam hidup saya.”

Bentar, tarik napas dulu...

“Buat saya, cinta hanya pemanis hidup. Anggap saja kamu membeli kopi di kedai, lalu seorang barista tiba-tiba datang membawakan gula tambahan karena si barista lupa kalau kopi yang kamu pesan more sugar. Ada beberapa yang menerima dan memasukkan gula itu ke kopinya. Ada beberapa juga yang menerima saja tanpa menambahkannya. Bahkan ada beberapa juga yang menghiraukannya, termasuk saya si penikmat less sugar coffee ini. Bagi saya, pahitnya kopi mengajarkan bahwa lika-liku hidup nggak menentukan akhir cerita seseorang. Kamu berpikir kalau tanpa cinta, hidup kamu nggak bahagia, nggak berwarna. Salah, salah besar. Justru pahitnya kopi itu dirasakan dan ditelan pelan-pelan saja. Karena saya percaya yang sejati akan datang tanpa harus direncanakan. Entah hari ini, besok, 5 bulan lagi, bahkan 10 tahun pun akan saya tunggu, cinta pasti datang tanpa harus dijemput.”

Tebakan saya benar. Ini memang buku diary, tetapi rasanya beda kalau yang menulis Awan. Dia membuktikan skeptis orang lain bahwa seseorang yang bersikap cuek dan berbicara seperlunya bisa berubah 180 derajat ketika berusaha menjadi dirinya sendiri.

Sekarang saya paham, Awan adalah awan yang sesungguhnya.
Sama-sama dinikmati keindahnya,
sama-sama dipandang dari jauh,
dan sama-sama nggak bisa digapai, apalagi dimiliki.