Maaf
“Nggak
ada pilihan lain?”
“Nggak.”
“Ayolah....” Ia
menghembuskan napas kasar.
“Tetap
atau tinggal?” tanyanya sekali lagi dengan muka bosan.
“Nggak,
saya nggak bisa. Ini bukan pertanyaan pilihan ganda yang bisa dijawab dengan
menghitung kancing baju.”
“Sesulit
itu memilih setelah dengan mudahnya dia menghancurkanmu?”
1
detik... 2 detik... 1 menit... tidak ada jawaban. Saya terdiam, mengiyakan yang baru saja ia katakan.
Layaknya burung merpati yang mencoba pergi sejauh mungkin, berharap kembali bersama
merpati lain dengan kisah yang baru dan berbeda. Tetapi semesta sudah jauh
lebih tahu bahwa ini semua salah. Untuk kali pertamanya, semesta tidak berpihak
pada saya. Tanpa aba-aba, dia mengirimku kesini.
Merpati
lain yang kamu maksud berada di rumah, masih menunggumu jauh sebelum kamu
pergi lalu kembali pulang, kira-kira itu yang semesta bisikkan.
Saya
memeluknya erat. Yang selalu saya suka adalah membenamkan kepala ditubuhnya
seperti terlindung dari badai dan petir di luar sana. Ada ketenangan dan
ketulusan di dalamnya yang tidak dimiliki siapapun. Ada keihklasan yang bisa
dirasakan, entah bagaimana cara dia menunjukkannya ke saya. Balasan peluknya bagai obat penenang, anggap saja habis berteriak di rooftop sekencang mungkin berharap bisa menyelesaikan semuanya.
Tuhan,
kirimkan saya pawang waktu agar saya bisa memintanya untuk mengehentikan waktu
walau sedetik saja, agar semua tahu bahwa nggak ada yang lebih berharga selain
dia selalu berada disisi saya. Karena dia adalah arah pulang saya, rumah
berteduh saya.
“Maaf,”
“Untuk
apa?” katanya sambil mengusap pipi saya yang sudah penuh dengan air ini.
“Membasahi
bajumu.”
“Sudah
berapa lama kita saling mengenal? Sudah berapa banyak baju saya yang kamu
basahi? Sudah berapa lama kamu nggak ingat kalau ini kebiasaan burukmu ketika
berani mengenal cinta lagi? Sudah berapa banyak kata maaf yang kamu ucapkan
karena membasahi baju saya?”
“Sepuluh
tahun. Dan tepat hari ini, untuk yang terakhir kalinya saya mengucapkan maaf
padamu, membasahi bajumu, dan menangis dipelukanmu.” sambil terisak saya berlari
meninggalkannya.
Setinggi
itukah ego saya meninggalkanmu yang sama sekali nggak bersalah? Bahkan dia yang
menghancurkan saya sekalipun masih saya biarkan hati ini untuk menetap. Sejahat
itukah saya? Hukum saya! Hukum saja saya! Biarkan saya berhenti melampiaskan
kesedihan saya kepada orang lain.
Saya
pernah minta sama Tuhan untuk kirim seseorang yang bisa mengisi warna rumpang
dalam hidup saya, tetapi saya lupa minta sama Tuhan untuk kirim seseorang yang
mewarnai hidup saya untuk selamanya, bukan seperti pelangi yang datang semaunya
dengan sejuta warna membuat semua orang bahagia, lalu pergi begitu saja.